Pada sebuah pagi yang senyap, terdengar suara ayam berkokok. Membangunkan penghuni bumi yang sedang tidur lelap. Entah apa yang dapat menggerakan seseorang untuk bangkit dari tidur. Mungkinkah itu keyakinan atau harapan.
Betapa banyak pagi yang sudah saya lalui, apakah semua pagi di masa lalu itu dapat jadi pelajaran berharga bahwa terlalu banyak waktu yang saya buang dengan sia-sia.
Percayakah kita hidup ini hanyalah sekumpulan kebiasaan yang kita jalankan berulang-ulang. Saya percaya, tapi saya tak pernah menyadari untuk apa semua kebiasaan itu. Sepertinya saya merasakan kebiasaan tersebut hanya untuk mewujudkan keinginan yang semu.
Memang tidak semua orang mempunyai tujuan dalam hidup. Tapi setiap orang memiliki keinginan dalam hidup mereka. Kadangkala tidak sedikit yang bisa membedakan antara keinginan dan tujuan. Bahkan saya pun terkadang berpikir dalam diri, apakah tujuan hidup ini sesungguhnya.
Betapa banyak keinginan yang hendak saya capai. Semuanya tentang harapan di dunia. Tapi saya lengah, karena semua keinginan itu seakan tanpa tujuan. Padahal tujuan sesungguhnya dari kehidupan ini adalah kematian. Sebab Tuhan telah berjanji akan ada kehidupan abadi setelah kematian.
kehidupan abadi yang kita idam-idamkan disana .Aamiin
SukaSuka
Amin
SukaSuka
menyeimbangkan tujuan dunia dan akhirat itu memang susah yah Jo.
SukaSuka
Iya, agak susah ya mas arie
SukaSuka
Semoga iduik awak makin baik yo jo, aamin.
SukaSuka
Amin.. semoga uda..
SukaSuka
Jadi kepikiran Jo yang saya lakukan setiap pagi dan setiap hari apakah memang untuk sebuah tujuan atau keinginan saja. 😦 Makasih ya Jo.
SukaSuka
Sama-sama mas dani..
SukaSuka
Jemur Pernahkah Anda membaca “tanda-tanda” pergerakan zaman sederhana ini: Blog > Facebook > Twitter > Instagram. Saya dibrundung kesedihan ketika Facebook lahir, karena ia segera merebut hati blogger untuk beralih “mainan”. Kemudian Twitter muncul, lalu Instagram. Meskipun di Facebook tersedia Note, kita tahu dengan baik bahwa menulis Status FB jauh lebih pendek dan praktis. Dan ketika orang-orang mengeluh bahwa menulis Status FB itu terlalu panjang baginya dan selalu kehabisan bahan, maka Twitter dengan pembatasan 140 karakter adalah “gue banget”. Lalu saat menulis sependek Twitter mulai dikeluhkan, maka kehadiran Instagram dengan segala daya tariknya terasa jauh lebih memerdekakan. Nah, apakah Anda bisa melihat “progres” platform ini telah “menyunat” habis budaya bergelut dengan kata?
SukaSuka
Hidup di dunia untuk kehidupan yang abadi di akhirat kelak ya, Ajo.
SukaSuka
Iya, betul pak ustadz..
SukaSuka